Thursday, June 17, 2010

Maaf Terakhir

Pagi hari, ketika subuh menjelang dan sang surya mulai menggantikan sang bulan. Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju kamar mandi.Kuambil air buat berwudhu dan segera menunaikan ibadah salat subuh di kamarku. Setelah berdoa memohon ampun pada sang pencipta, Aku mandi dan kulanjutkan sarapan pagi bersama keluargaku tercinta.
“Ayo makan yang banyak!”
“Betul kata ibumu itu, kamu harus makan yang banyak dan teratur.”
“Inget, kamu harus menjaga kesehatanmu itu”
Kata-kata kedua orang tuaku itu selalu berdenging di kedua telingaku.
Aku bersyukur mempunyai orang tua dan seorang kakak perempuan yang selalu menyayangiku. Ayahku itu orangnya tegas dan bijaksana, aku kagum dengannya dan kuharap aku bisa seperti beliau. Sedangkan ibuku mempunyai watak sangat penyayang. Tapi di antara kami mereka bertiga, aku lebih dekat sama kakakku. Kita berdua jarang sekali bertengkar. Ya paling pernahlah sekali-kali, tapi itu hanya sebentar. Kami sering pergi ke mall atau ke tempat-tempat makan berdua, jadi ega sedikit yang nganggep kami itu pacaran. Hahahahaha.
Jam dinding telah menunjukkan tepat pukul tujuh. Sudah waktunya aku bergegas berangkat ke tempat aku menuntut ilmu, SMA N 2 Malang atau biasa disebut Smadama. Aku berpamitan dengan kedua orang tuaku yang sangat kucintai dan kuhormati. Kuberangkat dengan motor yang selalu setia mengantarku kemana saja.
Aku memang selalu berangkat sekitar jam tujuh karena jarak rumahku dengan Smadama ega terlalu jauh, kira-kira 5,6 kilometeran. Seperti biasa kendaraan pribadi dan angkutan masal yang menjadi temanku berkendara. Kemacetan jalan di sana-sini juga ega mau kalah menjadi temanku berkendara. Tapi yang paling sering buat aku jengkel adalah bus. Asapnya itu kagak nahan deh.
Sesampainya di sekolah, yang pertama kali kutemui yaitu pak satpam yang selalu setia mempermudah anak-anak Smadama memarkirkan motornya. Setelah aku memarkirkan motorku dan melepaskan helm yang kukenakan, aku bergegas berjalan menuju kelas sepuluh tiga yang kubanggakan. Di sepuluh tiga aku mempunyai sahabat seperti Dhika, Putra, Ajis, Dinna, Tika, Ifa, dan masih banyak lagi. Mereka itu selalu mengisi hari-hariku jadi berwarna, ega monoton. Kami sering maen bersama, ega cuman di sekolah tapi juga di luar. Kalau ada waktu kosong kami bergantian mampir ke rumah salah seorang di antara kami, namun yang paling sering ya di rumahku.
Kalau ada ulangan dadakan atau pas ada ulangan seninan, tak jarang kami kerja sama. Hahahaha. Jadi mungkin nilai kami ega jauh berbeda. Walaupun kadang ngerasa dirugiin tapi ya ega papalah. Hitung-hitung amal buat kita sendiri. Kami punya semboyan yang cukup aneh.
Susah rame-rame
Seneng dewe-dewe
Kalau di antara kami ada yang lagi kesusahan, ya kami bantu semampunya, apapun itu. Namun kalau lagi ada yang bahagia, ya dia sendiri yang ngerasain. Memang ega adil sih, tapi ya begitulah semboyan kami.
Hari Selasa memang paling enak. Karena pelajaran hari ini ega begitu berat, paling cuman matematika saja. Tapi kalau buat aku karena ada jam olahraganya. Selesai pelajaran olahraga, aku dan teman-teman berganti seragam sekolah dan melanjutkan ke pelajaran matematika. Pelajaran yang menurutku paling berat pada hari ini. Namun ega disangka guru matematikanya sedang berhalangan hadir. Sontak kabar itu membuat kami sangat senang. Yah,,, memang menyenangkan kalau pelajaran yang berat justru kosong. Tetapi saat itulah sebuah masalah terjadi.
Aku dan keempat sahabatku sedang ngobrol di sebuah meja yang terletak nomer dua dari belakang. Kami duduk mengitari meja itu dan menceritakan tentang pengalaman kami masing-masing dan tak jarang diselingi juga saling mengejek. Dan semua itu murni hanya buat bercanda.
Ketika kami saling mengejek, datanglah Dinna dari depan kelas dan langsung duduk tepat di sampingku. Dia terlihat lesu, tapi mungkin itu karena dia kecapaian saat olahraga tadi. Saat kami mengganti topik obrolan menjadi olahraga, aku mengajak ngobrol Dinna yang sedari tadi diam saja disampingku.
“Dinn, kamu kenapa to, kok keliatan ega semangat gitu? Capek?”
“Ega. Lagi badmood aku, lagi malas ngapa-ngapain.”
“Badmood kenapa? Mesti ada sebabnya kan? Mungkin kita-kita bisa bantu kamu. Jangan lupakan semboyan kita itu.”
Susah rame-rame          
Seneng dewe-dewe
“Ega ada apa-apa kok.”
“Beneran?”
“Iya beneran.”
“Okelah kalau begitu, eh Lazar itu suka olahraga apa to? Kok kayaknya dia itu ega pernah keliatan olahraga?”
“Dia itu sukanya sama Voli.”
“Ah tapi kalau diliat-liat dia itu kayaknya ega bisa apa-apa, kalo pas maen bola keliatan asal-asalan.”
Entah pikiran dari mana aku bisa berkata sekasar itu. Dinna langsung beranjak dari bangkunya dan pergi meninggalkan kami menuju bangku paling depan. Aku mulai merasa ada yang ega beres dengan apa yang telah terjadi. Dan aku merasa semua ini karena ucapanku tadi.
Perasaanku semakin bertambah ega karuan saat Ifa datang dan mengajakku bicara di kursi paling belakang. Ifa menghampiriku setelah dia berbicara dengan Dinna. Aku tahu, aku tahu dia bakalan menyuruhku untuk minta maaf pada Dinna. Tanpa disuruh pun aku akan melakukannya. Ternyata Dinna tidak terima atas ucapanku tadi. Hal itu kutahu dari Ifa. Tanpa pikir panjang lagi, kutemui Dinna.
“Dinn, aku tahu kalau aku uda buat salah ma kamu, dan aku sebenarnya ega punya maksud apa-apa tadi, semua itu hanya bercanda kok.”
“Bercanda apanya! Kamu tadi udah ngatain Lazar seperti itu! Bukan cuman sekali ini aja ya, kalian itu uda sering ngatain Lazar. Dia punya salah apa?”
“Iya-iya aku minta maaf banget soal itu, Dinn, dan ega bakalan ngulangin lagi deh. Beneran kok Dinn.”
“Bisanya cuman minta maaf aja. Kalian itu ega kasian apa ngatain Lazar seperti itu. Lazar itu ega tau apa-apa. Kalian itu seenaknya njadiin Lazar bahan ejekan!”
Kata-kata Dinna itu membuat aku terdiam dan tak mampu berkata lagi, terlebih melihat dia menangis tersedu-sedu. Dinna langsung pergi meninggalkanku. Dan menyisakan aku seorang yang tampak kebingungan. Aku tak tahu lagi apa yang akan aku lakukan untuk menyelesaikan masalah yang semakin rumit saja. Masalah ini membuat semuanya menjadi berantakan. Suasana kelas yang biasanya nyaman berubah 180 derajat menjadi mencekam. Seperti sedang berada dalam perang dunia saja. Setelah kejadian itu sampai jam pelajaran selesai pukul dua siang, Dinna tak mau bicara denganku. Bahkan sekedar menjawab panggilanku saja dia seolah tak mendengar panggilanku. Aku pulang sekolah membawa pikiran yang sangat berat.
Pukul tujuh malam, aku mendapat sebuah sms dari Tika. Tika itu orangnya baik dan perhatian. Dia menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi antara aku dengan Dinna di kelas tadi dan apa yang menyebabkan Dinna sebegitu marah padaku.
”Tadi ega sengaja aku ngatain Lazar ini itu, dan aku ega tau kenapa di marah begitu hebatnya padaku,” jawabku sekenanya saja, karena pikiranku lagi ke masalah tadi pagi.
“Yaudah, kamu yang sabar ya Riz. Semua pasti ada hikmahnya kok. Besok-besok kalau ngomong lebih hati-hati ya. Ega semua orang bisa nganggep itu bercanda.”
“Iya, makasih ya udah kasih nasehat.”
Sesaat setelah aku mengirim sms terakhirku kepada Tika, gantian sms Ifa melayang ke tempatku.
“Hei! Gimana tadi? Dinna sudah maafin belum?”
“Belum eh Fa, aku harus gimana ya? Aku bingung eh.”
“Yaudah besok dicoba lagi aja, kamu yang sabar ya Riz.”
“Iya, makasih.”
Pagi harinya aku berangkat ke sekolah dan berharap Dinna mau memaafkan aku atas kesalahanku kemarin. Harapan tinggal harapan, ternyata Dinna masih seperti kemarin, dia tidak mau bicara denganku. Sebuah pertanda kata maaf dariku belum bisa diterimanya sekarang. Aku bisa terima semua ini. Aku kan berusaha mendapatkan maaf darinya. Aku tak mau kehilangan sahabat seperti dia hanya karena masalah ini.
Selama pelajaran berlangsung, aku mencuri-curi kesempatan buat bicara sama Dinna, dan sahabat-sahabatku ikut membantu. Namun semua itu gagal. Dinna tetap dingin dan tak menoleh sedikitpun ke arahku.
Hari kedua setelah kejadian itu, aku masih berusaha untuk mendapatkan kata maaf darinya. Meskipun dia belum mau memaafkan aku, tapi aku senang melihat dia kembali ceria seperti sedia kala. Senyum dan keceriaanya kembali mewarnai kelas sepuluh tiga.
Sebelum pelajaran dimulai, aku temui Lazar di depan kelasnya, dan kukatakan semua yang sebenarnya telah terjadi kepadanya. Aku meminta maaf pada Lazar. Dia mengerti dan tidak kusangka dia mau memaafkan aku. Ternyata Dinna menyaksikan permintaan maafku yang dikabulkan oleh Lazar. Ku berjalan mendekati Dinna dan meminta maaf kembali kepadanya, tapi dia masih tidak mau bicara padaku. Bahkan dia mendorongku hingga jatuh.
Ketika aku berjalan menuju kantin sekolah, kebetulan aku berpapasan dengan Dinna dan Lazar.
“Hai Dinn, Zar, kalian mau makan apa?”
“Eh Zar, liat tuh ada orang yang pernah ngatain kamu. Dia masih berani muncul di hadapan kita.”
Tak kusangka Dinna membalas pertanyaanku seperti itu. Aku hanya mampu mengelus dada dan mengambil napas panjang. Aku merasa seperti dipenjara oleh sahabatku sendiri yang telah menganggapku sebagai penjahat kelas kakap. Ya, aku bisa terima ini, tapi apakah tidak berlebihan? Mungkin semua ini tak akan terjadi apabila Dinna mencintai Lazar tak sepenuh hati. Sungguh aku salut dengan cinta mereka berdua.
“Jangan gitu Dinn! Dia sudah minta maaf sama aku, dan aku sekarang sudah maafin dia kok. Sudah ega ada lagi masalah diantara kami berdua. Kenapa kamu belum bisa maafin Rizki?”
“Tapi, tapi aku masih ega bisa terima semua ucapannya kemarin, Zar. Bisa-bisanya kamu maafin dia gitu aja.”
“Udah, ega usah tapi-tapi! Ayo jalan aja.”
Aku senang mendengar kata-kata Lazar tadi. Aku senang dia sudah menganggap masalah kami sudah usai. Tinggal Dinna saja yang masih berat menerima semua ini. Tapi kuyakin semua ini akan cepat berakhir.
Malam harinya aku mengirim sms ke Ifa. Aku meminta saran agar aku bisa damai lagi sama Dinna. Ifa menyuruh aku mengirim sms ke Dinna. Isinya tak lain adalah permintaan maafku.
“Dinn, maafin aku, aku minta maaf lagi soal kemarin-kemarin.”
“Ega! Ega bisa!”
“Mengapa tiada maaf bagiku? Apakah aku tak pantas?”
“Pokoknya ega bisa! Ega ya tetap ega.”
Hari ini hari Senin, itu berarti hari keenam, dan semoga saja dia sudah memaafkan aku. Sebelum berangkat sekolah, aku merasa tidak enak badan, seluruh badanku terasa sakit. Tetapi aku tak akan melewatkan hari ini untuk kembali meminta maaf pada Dinna.
“Riz, kamu sehat to?”
“Iya, aku sehat. Aku baik-baik aja kok. Emangnya kenapa?”
“Ega, muka kamu itu keliatan pucat banget. Kayak orang sakit.”
“Ohh, ega papa kok. Aku sehat-sehat aja kok.”
Banyak teman-temanku yang menanyakan keadaanku, aku senang mereka perhatian padaku. Tapi sebenarnya memang aku merasa tidak enak badan. Aku merasa sangat lemas.
Saat istirahat pelajaran kutemui Dinna dan untuk yang kesekian kalinya kumeminta maaf padanya. Ternyata untuk kesekian kalinya juga dia tidak memaafkanku. Sepulang sekolah kutunggu Dinna di depan kelas, aku ingin bicara dengannya. Saat Dinna keluar kelas, aku tahan dia agar tak langsung pulang. Tetapi dia justru mendorongku hingga aku jatuh ke lantai.
Malam harinya aku pergi ke kosnya Dinna. Aku menarik nafas panjang-panjang dan setelah itu aku segera memberanikan diri mengetuk pintu.
“Permisi, boleh saya masuk?”
“Anda siapa? Dan mau bertemu dengan siapa?”
Pertanyaan pembantu Dinna itu begitu memberondong. Kembali aku menarik nafas panjang.
“Saya Rizki, temannya Dinna. Saya ingin bicara dengan dengannya.”
“Oh ya, silakan duduk. Tunggu sebentar ya, saya panggilkan non Dinna dulu,”kata pembantu Dinna.
Cukup lama aku menunggu Dinna keluar, namun pembantunya datang lagi.
“Maaf mas, non Dinnanya tidak mau keluar dari kamarnya. Sedang tidak mau diganggu.”
“Oh begitu, ya sudahlah. Katakan saja bahwa saya datang kemari dan mau minta maaf saja.”
Sebenarnya aku ingin menyelesaikan semua masalah ini. Aku ingin semua ini berakhir, tapi kembali kumendapat kegagalan.
Ketakutanku yang selama ini ada akhirnya benar-benar terjadi. Permintaan maafku kemarin adalah yang terakhir kalinya. Aku tak dapat lagi melakukannya sekarang ataupun lusa. Sungguh bukan kemauanku, bukan karena aku capek melakukanya ataupun bosan, tetapi karena aku tak dapat menemuinya lagi. Duniaku dengan dunia Dinna dan teman-teman sekarang sudah jauh berbeda, tempatku sudah bukan di sini lagi, bukan di dunia fana ini.
Tak kusangka waktuku pergi tiba begitu cepat. Penyakit jantung yang kuidap sejak kecil telah membunuhku, dan membuatku jauh dari sahabat dan keluargaku yang sangat kucintai. Aku tak tahu apakah teman-temanku tahu aku telah pergi, tetapi sungguh bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin kata maafku diterimanya. Aku ingin Dinna memaafkan aku. Sehingga aku dapat pergi dengan tenang dari sini. Aku janji tidak akan melupakan kalian untuk selamanya, karena kalian semua adalah keluargaku dan akan selalu tersimpan di hatiku.
by: reza

Bookmark and Share

6 comments:

  1. ckckckk..teman saya satu ini berbakat ternyata ahahaha

    ReplyDelete
  2. awalnya aku ngira pstingan ini cuma repost, abisnya SMA 2 Malang sih hehe. tapi lama-kelamaan aku menikmati alur ceritanya, baguss ^^

    ReplyDelete
  3. we ega ya....ni cerpen buat sendiri aku....nek smada yk ntar nyebut merk

    ReplyDelete
  4. bagus za, ceritanya sederhana, karakter tokoh utama jg keliatan, akhirnya agak gantung ya..

    ReplyDelete
  5. danny putrananda said: hahaha aku ngeti iki sopo~

    ReplyDelete